Rabu, 04 Maret 2015

Merubah Sudut Pandang


oleh dita widodo

Selasa, 07 Agustus 2012 tepat jam 08.15 pagi saya dan team sudah berada di Taman Wisata Matahari untuk menghadiri undangan meeting atas sebuah proyek joint- operation berupa pembangunan Games Carnival Area di salah satu lokasi di Kawasan Taman Wisata Matahari (TWM), Cileumber – Jawa Barat.

Membaca buku-buku Dahlan Iskan dan Chairul Tanjung si Anak Singkong memberi suntikan keberanian diri kami untuk mencoba peluang-peluang baru. Menyebarkan virus semangat juang yang tak ada matinya. Memberikan kesadaran penuh bahwa peluang itu hanya bisa dimanfaatkan oleh mereka yang BERLATIH untuk menangkapnya. Dan itu bisa dilakukan oleh siapa saja yang berkenan mencobanya.

Peluang kecil tidak selalu berhasil, peluang besar belum tentu gagal. Maka, saya dan team sedikit memaksakan diri untuk menerima tantangan yang diberikan oleh TWM dalam hal pengelolaan Games Carnival Area, yang adalah merupakan wahana ketangkasan sebagai salah satu pilihan aktifitas wisata bagi pengunjung.

Cerita selanjutnya tentang Games Carnival Area semoga bisa saya tayangkan suatu hari nanti sebagai catatan menggembirakan dan layak di ATM ( amati-tiru-modifikasi), dan bukan sebaliknya, sebagai catatan pahit atas harga sebuah usaha…:) Karena keduanya memang mempunyai peluang yang mungkin sama besarnya.

Pagi itu, kami bertemu dengan Pak Hari Darmawan – Pak Bos TWM, sang begawan retail, yang juga pendiri Matahari Group. Beliau sedang melakukan aktifitas hariannya, berkeliling  komplek wisata ditemani dua orang kepercayaannya.

Dengan pakaian kaos dan celana pendek ala kadarnya, bersepatu kets, beliau berjalan cepat mengontrol hampir setiap sudut dan sisi taman wisata.  

Rambut peraknya terlihat segar dan menampakkan kharisma yang terpancar dari dalam. Wajahya dipenuhi senyuman persahabatan. Dan jabat erat tangannya, seolah mengaliri energi positif dan semangat hidup bagi kami, yang  sebenarnya bukanlah siapa-siapa.

Maka hari kemarin, saya dan teman-teman, untuk kesekian kalinya kembali mengagumi sosok Pak Bos dengan deretan komentar positif seperti ;
Semangatnya tak lapuk dimakan usia…/Kesederhanaan penampilannya, tak mengurangi penghargaan orang lain terhadapnya, bahkan justru berfungsi sebaliknya../Inilah cara terbaik memanfaatkan masa senja, obat mujarab awet muda…dsb dll.. :):)

Melihat pria berpostur tubuh ”biasa” saja itu, saya membatin ”Inilah yang dimaksud penilaian seseorang adalah karena sudut pandang” ala Prie GS, salah satu sosok lain yang saya kagumi meski secara fisik, beliau mengaku bertinggi sekitar 155cm, koma sekian saja…! :)

Jadi postur tubuh yang biasa atau standar-standar saja bukanlah sebuah kekurangan dan alasan yang membuat orang juga merasa ”cukup menjadi manusia biasa dan standar saja”.

Bahkan pada saat kondisi atau postur tubuh terasa ada kekurangan, manusia pun seharusnya menempatkan dirinya bernilai tinggi, melebihi kualitas penampakan secara fisiknya.

Seperti yang diulas Mas Prie GS di Humor Sahur Metro TV jam 02.30 pagi sebelumnya, ia pun menyadari tinggi tubuhnya sangat jauh dari ideal untuk ukuran seorang pria.

Banyak wanita mendambakan pria bertubuh tinggi, karena rata-rata wanita memerlukan tempat bersandar pada saat ia menangis….( meski yang ini saya anggap lebay dot com, tapi biarlah saya tanggapi dengan senyum dan tawa saja. Ha ha ha).

Saat itulah ia menyadari kekurangannya. Di saat yang sama, rupanya teman kuliahnya yang mempunyai tinggi badan berlebih pun, menemui masalah karena hampir setiap hari sang teman ”kejedot” pintu ruang kelas karena saking tingginya…:)

Sejak itulah ia mulai memperhatikan manusia, dari berbagai sudut pandang. Julia Robert, artis kelas dunia pun merasa ada kekurangan dalam fisiknya, yang adalah bibir yang terlalu lebar…:)
Namun toh tidak menghalangi kariernya sebagai artis terkenal dengan bayaran super mahal.
Jika kegemukan itu diberi peringkat : chubby, gemuk, gendut, gembrot dan terakhir Astaghrifullah, maka salah satu bintang tamu di acara Humor Sahur kemarin itu adalah Mo Sidik Zamzani yang mengaku diri berlevel Astaghfirullah..:)

Tapi Mo mengaku, justru dari kekurangannya itulah ia berhasil dalam karier tidak hanya sebagai penyiar radio, tapi juga berhasil menghiasi layar kaca yang ternyata adalah sumber rejeki terbesar dalam hidupnya.

Dan Prie GS dengan tinggi badan kurang ideal itu pun berhasil mengarahkan sudut pandang orang dengan memberinya jabatan prestise atas dirinya sebagai : SEORANG BUDAYAWAN.
(Dalam konteks humor, seorang budayawan adalah manusia yang tidak jelas pekerjaannya…red :) :) )
Dengan kharisma yang dimiliki yang bersumber dari hasil olah pikiran yang dituangkan ke dalam ucapan dan tulisannya, ia dianggap layak menjadi referensi oleh banyak kalangan.
Kesimpulannya adalah :
1. Manfaatkan kekurangan sebagai kelebihan dan potensi diri
2. Manusia ternyata bernilai karena berhasil mengubah sudut pandang orang lain terhadapnya

Dan menatap Pak Hari Darmawan, saya memilih melihat dari sudut pandang saya. Bukan postur tubuhnya yang biasa saja, dan bukan usianya yang telah senja. Juga bukan harta kekayaannya yang berlimpah dan kerajaan bisnisnya yang mengakar dan melegenda di seluruh penjuru yang menjadikan kami memberikan respect dan apresiasi tertinggi.

Saya melihat beliau adalah sesosok pribadi yang berkualitas tinggi. Seorang anak manusia yang tidak hanya tahan banting, berjiwa pejuang dalam menaklukkan kerasnya kehidupan, menyelesaikan satu demi satu persoalan hidup yang tingkat kesulitannya selalu mengikuti kemampuan seseorang dalam memecahkannya, lalu muncul sebagai pemenang.

Di saat orang lain melihat beliau telah berada di titik puncak kehidupannya, ternyata justru kebahagiaan hidup adalah kesederhanaan dan kebersahajaan. Ayunan langkah melanjutkan perjuangan untuk sebuah pengabdian adalah pilihan terbaik di usia senja.

Melihat jalan hidup beliau, menjadi sebuah renungan untuk kita yang berjalan di belakangnya.Sudut pandang apa yang sedang kita bangun bagi diri dan orang lain hari ini? Catatan apa yang akan kita goreskan untuk mereka yang ada di belakang kita saat ini?

Cara Kita Menunggu


Mendengar kata ”MENUNGGU”, apa yang pertama kali melintas dalam pikiran?
Sebagian kita menjawab ”sesuatu yang membosankan, menjemukan, menjengkelkan!”
Sebagian lain yang mencoba belajar bersikap bijak akan menjawab ”menguji kesabaran”.
Tapi coba perhatikan baik-baik, bukankah suka atau tidak suka, sesungguhnya kita semua sering harus menjadi kaum penunggu?

Para event organizer, pebisnis travel dan transportasi, utamanya bis wisata, mengisi bulan puasa pun tak lebih hanyalah menunggu. Apa yang dilakukan kami-kami ini?
Bagi bis pariwisata, saatnya tune-up kendaraan, mengganti interior, mengecat ulang body kendaraan, merencanakan strategi pemasaran yang lebih jitu, dst dll.

Dan bagi event organizer dan pebisnis travel, meski tidak libur total, ada banyak waktu untuk me-review pekerjaan 11 bulan sebelumnya. Sejenak bernafas sambil belajar ilmu-ilmu baru, yang sering tidak sempat dilakukan di saat kehebohan di hari-hari normal lainnya.

Untuk seorang sales, marketing, dan sejenisnya, kata ”menunggu” sudah bukan lagi kata negatif yang meracuni pikiran. Setelah seseorang membuat penawaran, mempresentasikan produk atau program yang dijualnya, kemudian yang dilakukan adalah : menunggu. Dan pekerjaan menunggu ini pun diisi dengan mencari prospek klien baru, membuat penawaran, dan presentasi atau terlibat proses produksi. Adapun sisanya adalah untuk belajar dengan aneka metode yang ’khas” dirinya. Saya sangat yakin, putaran proses itulah yang terjadi dari bisnis terkecil hingga terbesar, di sektor usaha apapun, tanpa kecuali.

Saat hendak naik bus kota atau kereta yang tak kunjung datang, apa yang kita lakukan? Menengok samping kanan-kiri, menyapa jika memungkinkan? Banyak diantaranya menemukan teman baru dalam perjalanan yang akan memperluas cakrawala kita akan hidup. Bertemu banyak orang dengan berbagai macam karakter dan sifat, adalah ajang paling efektif untuk belajar ilmu psikologi dan menguji berbagai ilmu filsafat yang banyak ditulis di buku-buku teori.

Atau dengan membaca buku? Pun adalah salah cara belajar yang banyak dipraktekkan orang-orang hebat yang layak kita teladani. Kemajuan sebuah negara bahkan bisa dilihat dari ”reading habit”-nya. Semakin maju sebuah negara, judul buku yang beredar semakin banyak.
Buku Harry Potter dicetak sejumlah 40juta buku. Sementara buku-buku best seller di Indonesia, hanya dicetak atau dibeli oleh 3.000-an orang aja… Jadi untuk bisa membalap mereka, mestinya kita juga harus meningkatkan budaya baca itu sendiri, yang adalah ciri-ciri dari negara-negara maju…Maka, menunggu dengan membaca buku adalah cara cerdas mendorong kemajuan bangsa, yang bisa diusahakan secara mandiri, sendiri! :)

Seorang penambal ban bisa saja menunggu waktu kedatangan kliennya dengan menebarkan paku di sepanjang jalanan. Atau seorang politikus, juga bisa menunggu kekuasaan/kedudukan yang diharapkannya dengan mengadakan kampanye hitam untuk kompetitornya. Atau seorang pedagang, sibuk menggunakan waktu menunggunya untuk menjelek-jelekkan kualitas produk pedagang lainnya. Jelas itu semua bisa dianggap sebagai gugurnya mutu seseorang dalam sekujur hidupnya.

Meminjam istilah Mas Prie GS, seorang budayawan yang mengaku mempunyai tinggi badan kurang ideal dan merupakan salah satu tokoh berpengaruh dalam mendorong keinginan saya belajar menulis adalah :

”terkait dengan caramu menunggu, disitulah letak martabat hidupmu…”
Maka, setiap ada kesempatan menunggu, ingin saya bisa ”njawil” diri sendiri…”Hei, apa yang sedang dan akan kau lakukan? Inilah saatnya membangun martabat diri. Sebuah nilai yang mungkin penting di mata sesama. Tapi jauh lebih penting di hadapan sang pemberi waktu.. Karena di sinilah manusia bisa menyatakan syukurnya atas anugerah terbesar ialah : SANG WAKTU”.

dita widodo